Perjumpaan dengan Kasih Pertama

Hari ini, 31 Agustus 2035, tepat 36 tahun sejak saya mengalami pengalaman rohani yang mengubah seluruh arah hidup saya bersama Tuhan.

Ini adalah versi panjang dari tulisan saya sebelumnya di sini: My First Love.

Awal Perjalanan Iman

Saya lahir 55 tahun yang lalu di Salatiga, sebuah kota kecil berhawa sejuk di kaki Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Keluarga saya hanyalah keluarga Jawa yang “beragama di KTP”—tanpa pernah benar-benar mempraktikkan iman di rumah.

Sejak SD, saya bersekolah di sekolah Katolik. Dari sana saya pertama kali mendengar tentang Yesus. Namun keputusan menjadi Kristen baru saya buat ketika SMP.

 Suatu kali saya bertanya kepada ibu saya, “Bu, agamaku iki opo?”

Dan beliau menjawab enteng, “Terserah, kamu pilih saja.”

Sebagai anak usia 12–13 tahun, saya mulai menimbang. Mayoritas keluarga besar saya memeluk agama lain, dengan kewajiban-kewajiban yang menurut saya cukup berat. Di sisi lain, dari pengalaman di SD Katolik, tata cara ibadahnya pun saya rasakan rumit.

Suatu hari, kakak saya mengajak saya ke kebaktian di gereja Protestan. Ruangannya sederhana, tanpa banyak ornamen. Pendetanya hanya mengenakan jas dengan kotak putih di leher. Sederhana sekali, dan justru itu yang membuat saya merasa nyaman.

Akhirnya saya berkata kepada ibu saya,

“Bu, aku milih jadi Kristen wae yo.”

Dan jawaban beliau singkat, “Yo wis, rapopo.”

Sejak itu saya resmi menjadi Kristen. Tapi kenyataannya, saya hanyalah Kristen KTP.

Masa Mahasiswa dan Pergumulan

Benih firman yang pernah ditabur di masa kecil mulai bertumbuh ketika saya merantau ke Yogyakarta tahun 1989. Saya diterima di dua kampus: UKSW Salatiga (Bahasa Inggris) dan UGM Yogyakarta (Hubungan Internasional). Saya memilih UGM, bukan karena lebih baik, tetapi karena saya ingin hidup di luar kota, bebas dari pengawasan orang tua, dan bisa melakukan apa saja yang saya mau.

Jujur saja, waktu itu niat saya hanyalah: ingin menikmati dosa selagi muda.
Namun, Tuhan terlebih dahulu “menangkap” saya sebelum saya berjalan terlalu jauh.

Suatu ketika, seorang teman bertanya,

“Apakah kamu secara pribadi sudah mengenal Tuhan Yesus?”

Pertanyaan itu mengguncang. Saya memang Kristen sejak SMP, tapi hanya sebatas formalitas: pergi ke gereja tiap minggu, berdoa hanya sebelum makan atau saat butuh pertolongan, tidak pernah membaca Alkitab, apalagi bersaat teduh.

Saya menjawab, “Iya, saya percaya Yesus.”

Namun teman itu melanjutkan, “Yang saya maksud bukan sekadar percaya. Apakah kamu benar-benar mengenal Dia secara pribadi? Apakah kamu punya waktu berbicara dengan-Nya, mendengarkan suara-Nya, dan hidup dalam hubungan yang dekat dengan Dia?”

Ia bahkan mengingatkan, “Iblis pun percaya kepada Tuhan, tetapi mereka gemetar.”

Saya terdiam. Dengan jujur saya mengakui, “Iya, saya memang belum punya hubungan seperti itu.”

Sejak saat itu, pergumulan batin saya dimulai. Di satu sisi, saya tahu Tuhan memanggil saya untuk hidup benar. Tapi di sisi lain, hawa nafsu muda saya ingin menikmati dunia. Pertentangan itu begitu berat, sampai saya jatuh sakit. Bahkan, sempat terlintas keinginan mengakhiri hidup karena tekanan batin yang saya rasakan.

Titik Balik: 31 Agustus 1989

Puncaknya terjadi pada pagi hari, 31 Agustus 1989, sehari setelah ulang tahun saya yang ke-19. Di kamar kos saya di Jogja, saya berlutut dan menangis. Dengan hati hancur saya berseru:

“Tuhan, jika Engkau sungguh ada, tolong lepaskan aku dari beban ini.”

Setelah itu saya terdiam. Dan tiba-tiba, saya merasakan seolah ada tangan yang memeluk saya dari belakang. Saya mendengar suara lembut dan jelas berkata:

“Nur, Aku mengasihimu.”

Sekejap, semua beban hilang. Hati saya dipenuhi damai sejahtera yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Saat itu saya tahu—Tuhan itu nyata, hidup, dan mengasihi saya. Di situlah saya lahir baru.

Hidup Baru

Sejak hari itu, saya menjadi ciptaan baru. Yang lama sudah berlalu, yang baru sudah datang. 

Saya yang dulunya pemalu, takut mati, kuatir akan masa depan, diubahkan menjadi pribadi yang berani, percaya diri, dan penuh pengharapan. Saya tahu pasti: iman saya dalam Kristus memberi jaminan hidup kekal di surga.

Perjumpaan itu juga menjadi titik awal saya mulai membagikan Injil. Saya menceritakan kasih Tuhan kepada teman-teman kampus, bahkan kepada kedua orang tua saya—dan syukur kepada Tuhan, mereka akhirnya juga percaya kepada Yesus.

Refleksi Hari Ini

Saudara yang dikasihi Tuhan, kelahiran baru itulah yang menjadi fondasi perjalanan iman saya hingga hari ini, 36 tahun kemudian. Doa saya, kiranya setiap kita juga mengalami kelahiran baru dalam Kristus.

Caranya mungkin berbeda-beda bagi setiap orang, tetapi kebenarannya sama: pertumbuhan iman selalu dimulai dari hidup yang baru.

  • Benih hanya bisa bertumbuh jika ada kehidupan.

  • Bayi hanya bisa berkembang jika sudah bernapas.

  • Demikian juga kita, tidak mungkin bertumbuh rohani tanpa lahir baru.

Kiranya kesaksian sederhana ini mengingatkan kita semua, bahwa perjalanan iman dimulai dari perjumpaan pribadi dengan Tuhan Yesus—Sumber hidup yang sejati.

Comments

Popular Posts