Menonton "Sore" Bersama Istri dari Masa Kini

Kemarin malam saya mengajak istri masa kini saya menonton film Sore, Istri dari Masa Depan. Film karya sutradara muda berbakat, Yandy Laurens.


Waktu kami masuk mobil, istri saya bilang, “Saya sebenarnya kurang mood buat nonton.”


Saya baru sadar, hari itu pikirannya penuh. Banyak hal yang sedang dia pikirkan.


Dalam perjalanan, saya mendengarkan. Dia bercerita banyak.


Sesampainya di parkiran, saya berkata, “Terima kasih ya, sudah temani aku.” Istri saya diam, lalu mengangguk.


Filmnya sendiri indah. Sangat indah.


Pemandangan alam dari belahan dunia utara sungguh menakjubkan.


Lalu muncullah adegan aurora. Saya tertegun.


Beberapa tahun lalu, saya pernah menulis di blog ini—ingin sekali menyaksikan aurora langsung once in my lifetime.


Dan entah kenapa, lewat film itu, mimpi itu hidup kembali.


Seperti ada yang menepuk bahu dan berkata, "Hey, itu masih mungkin terjadi Bro!"


Ada banyak kepingan kebenaran (timeless in temporaries) yang bisa ditemukan dalam film ini.


Disampaikan dengan lembut. Lewat cerita.


Dan bukankah cerita memang cara terbaik menyampaikan kebenaran?


Misalnya, kita tidak bisa mengubah pasangan.


Yang bisa kita lakukan hanyalah mengasihi dia—apa adanya.


Nasihat dan teguran tentu perlu, tapi harus keluar dari hati yang mengasihi, dengan kemauan untuk memahami.


Bukan dari hati yang menuntut.


Film ini juga berbicara tentang luka masa lalu.


Kita perlu berdamai dan memaafkan, supaya hidup bisa dijalani dengan hati yang ringan.


Dan ada juga kenyataan ini:


Sudah ada takdir yang ditetapkan oleh Yang Mahakuasa.


Berusaha mengulang waktu tak akan mengubah apa pun.


Kitalah yang harus berubah dalam menyikapinya.


Waktu yang kita miliki berharga, tak akan terulang.


Dan kita perlu menghidupinya dengan bijaksana.


Tapi saya memang bukan penggemar film fantasi.


Film romcom realistis seperti karya Yandy sebelumnya, Jatuh Cinta Seperti di Film-film, bagi saya tetap jauh lebih bagus.


Saat masuk ke bagian yang tidak realistis dan berulang—Sore mati lalu hidup lagi—saya sempat ketiduran.


Tapi justru dari situ saya sadar, hidup memang seperti itu.


Penuh pengulangan.


Kadang membosankan.


Kadang terasa tidak masuk akal.


Namun hidup tetap harus dijalani.


Tidak selalu menyenangkan.


Tidak selalu menyedihkan.


Kadang hidup terasa datar-datar saja.


“Kok gini lagi, kok nggak berubah-berubah?”


Kita mungkin merasa bosan, capek, dan tertidur sejenak.


Tapi setelah itu, kita tetap harus bangun.


Menghadapi realitas.


Lalu memilih yang benar, melakukannya dengan baik,

dan sebisa mungkin dengan cara yang indah.


Saat keluar dari bioskop, saya bertanya kepada istri masa kini saya, bagaimana pendapatnya tentang film itu.


Dia menjawab singkat, “Kalau sudah showing, kita nonton Demon Slayer yuk.”


“Gas!” sahut saya.


Setelah menikah hampir dua puluh tahun, saya merasa sedikit lebih ahli dalam mengenali dia.


Khususnya dalam menangkap hal-hal yang tidak terucap.



Comments

Post a Comment

Popular Posts