Sounds Right, But Not Quite
Pagi tadi, begitu membuka WhatsApp, saya menemukan sebuah pesan dari seorang teman yang sedang tertarik mendalami Kekristenan. Ia mengirimkan tangkapan layar dari sebuah caption di Instagram milik seorang hamba Tuhan terkenal. Caption itu ditulis dalam rangka pernikahan anaknya:
“Tanpa pacaran kudus, tidak ada pernikahan kudus. Tanpa pernikahan kudus, tidak ada keturunan kudus.”
Teman saya lalu bertanya, “What do you think about the caption?"
Saya membaca ulang kalimat itu beberapa kali. Sekilas, saya bisa menangkap maksud baik di baliknya—tentu saja hamba Tuhan itu ingin mendorong anak muda untuk menjaga hidup kudus, khususnya dalam masa pacaran, agar tidak jatuh dalam dosa seksual. Tetapi, semakin saya merenungkan, ada sesuatu yang mengganjal. Secara teologis, pernyataan itu terasa problematis. Ia bisa dengan mudah menimbulkan salah pengertian tentang apa itu kekudusan menurut Injil.
Pertama, dalam iman Kristen kekudusan adalah anugerah, bukan hasil usaha manusia. Alkitab mengajarkan bahwa kita menjadi kudus bukan karena pacaran atau pernikahan kita berjalan sempurna, melainkan karena Kristus sendiri yang menguduskan kita. Kekudusan adalah pemberian, bukan pencapaian. Ibrani 10:10 berkata bahwa kita telah dikuduskan “oleh persembahan tubuh Yesus Kristus satu kali untuk selama-lamanya.” Paulus juga menulis bahwa Kristus telah menjadi “kebenaran, kekudusan, dan penebusan bagi kita” (1 Korintus 1:30). Jadi, standar kekudusan bukanlah pacaran yang tanpa cela atau pernikahan yang tanpa cacat, melainkan iman kita kepada Kristus.
Kedua, pacaran atau pernikahan yang gagal pun bisa dipulihkan. Benar, ada banyak orang yang jatuh dalam perjalanan relasinya—entah pacaran yang tidak sehat, atau pernikahan yang porak-poranda. Tetapi kabar baik Injil justru terletak di sini: tidak ada kegagalan yang terlalu besar untuk dipulihkan oleh darah Kristus. Jika seseorang bertobat, Tuhan sanggup menguduskan kembali, bahkan bagian-bagian hidup yang dulu hancur. “Darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari segala dosa” (1 Yohanes 1:7). Dalam Kristus, yang lama sudah berlalu, yang baru sudah datang (2 Korintus 5:17).
Ketiga, tidak ada keturunan yang otomatis kudus. Semua manusia, tanpa terkecuali, lahir dalam dosa. Pemazmur berkata, “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mazmur 51:7). Paulus pun menulis, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Artinya, anak yang lahir dari pernikahan paling “kudus” sekalipun tetap membutuhkan kelahiran baru dalam Kristus. Kekudusan tidak bisa diwariskan lewat garis keturunan; hanya Yesus yang sanggup menguduskan hidup seseorang.
Karena itu, saya menjawab teman saya: meskipun saya bisa memahami maksud positif dari pernyataan hamba Tuhan tersebut—yaitu mengingatkan anak muda untuk menjaga diri, menjauhi seks pranikah, dan membangun relasi yang sehat—tetapi cara penyampaiannya bisa berbahaya. Ada risiko orang-orang yang pernah gagal dalam pacaran atau pernikahan merasa tidak punya kesempatan lagi untuk hidup kudus. Padahal, justru Injil mengajarkan bahwa di dalam Kristus selalu ada jalan baru, ada pemulihan, dan ada harapan.
Good intention needs good communication, so that what we mean is understood the right way.
Comments
Post a Comment