Relatif atau Absolut?

Dulu, di zaman saya kecil, kalau ingin mendengarkan musik, caranya tidak semudah sekarang. Belum ada Spotify, belum ada YouTube. Yang ada: radio. Dan bukan radio digital yang tinggal klik, melainkan radio analog yang harus diputar manual.

Kadang, kita harus memutar tombol frekuensi ke kiri dan ke kanan, mencari-cari posisi yang pas agar suara musik keluar dengan jernih. Kalau tidak pas, suaranya akan kresek-kresek — seperti ada badai pasir kecil di antara melodi. Baru setelah tombol itu diputar sampai ketemu frekuensi yang tepat, suara jernih pun terdengar. Ah, akhirnya: in tune.

Contoh lain yang serupa adalah gitar. Gitar perlu di-tuning, disetel supaya nadanya benar. Kalau tidak, hasilnya akan fals, dan lagu yang dimainkan pun jadi tidak enak didengar. Untungnya, sekarang ada alat bantu yang disebut tuner — semacam penunjuk nada yang tepat. Tuner ini sangat berguna, terutama bagi mereka yang belum begitu peka terhadap ketepatan nada.

Menariknya, walaupun menurut telinga kita nadanya sudah "terdengar pas", kalau tuner belum menunjukkan nada itu tepat, berarti nada itu masih salah. Tuner menjadi semacam "penentu kebenaran" dalam dunia musik — alat ukur yang objektif dan diterima semua musisi. Tidak peduli perasaan kita bagaimana, kalau tuner bilang belum pas, ya belum pas.

Dari sini, kita bisa belajar sesuatu yang penting: bahwa dalam hidup ini, tidak semua hal bersifat relatif. Memang, ada banyak hal dalam kehidupan yang bisa berbeda-beda tergantung selera dan konteks — misalnya makanan favorit, gaya berpakaian, atau jenis musik yang kita sukai. Itu semua adalah hal-hal yang relatif dan sah-sah saja berbeda antar individu.

Namun, ada pula hal-hal yang bersifat baku dan absolut. Nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, kasih, dan keadilan — atau bahkan kebenaran moral dan spiritual — tidak bisa ditentukan semata-mata berdasarkan perasaan atau opini pribadi. Seperti nada dalam musik atau frekuensi radio yang jernih, ada standar yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Bayangkan kalau semua musisi bermain dengan kunci seenaknya, lalu mengklaim, “Ini versi saya dari nada E.” Tentu hasilnya bukan harmoni, tapi kekacauan.

Begitu juga dengan hidup. Jika setiap orang hidup dengan standar sendiri dan menolak kebenaran sejati, maka yang terjadi bukan kebebasan, tapi kebingungan. Karena hidup yang selaras dan bermakna hanya mungkin terjadi ketika kita selaras — in tune — dengan sesuatu yang lebih besar dari kita. Sebuah kebenaran yang tetap, teguh, dan tidak berubah meskipun zaman berganti.

Comments

Popular Posts